May 13, 2009

Episode Ngilu



Kematian adalah Haq. Maksudnya Benar dan pasti akan datang, dialami setiap orang dan bisa terjadi kapan saja, dimana saja.

Tidakkah manusia itu mengambil ikhtibar pada kematian? Tidakkah manusia itu berpikir bahwa hidup didunia ini Sangat singkat? Ingatkah Engkau kematian telah datang pada orang-orang yang Engkau sayangi?

Ibuku meninggal dunia ketika aku berumur sembilan belas tahun, waktu itu aku masih belajar languages diCelpad UIA. Beliau koma selama hampir sebulan dirumah sakit kerajaan Malaysia, Hospital Selayang.

Beliau menghidap kencing manis yang sudah parah. Sewaktu masih di Aceh, kaki Ibu terluka akibat bejolan bisul kecil. Kemudian luka itu bertambah besar. Awalnya kakak dan adikku menasehatinya agar mahu dibawa berobat ke rumah sakit, tetapi beliau tak mahu dengan alasan hanya luka biasa.

Kemudian, mereka terpaksa juga membawanya kerena keadaan Ibu memang mengkhawatirkan, Beliau dibawa ke Rumah sakit kecamatan yang selayaknya bisa disebut Puskesmas. Sebenarnya keluarga kami bukanlah susah, tapi ketika itu Abang sulung sok berkuasa yang suka memerintah bagaikan pemegang kuasa diIstana kami. Ibu dipapah ke dalam mobil tanpa bantuan sang Anak kesayangan (Abang sulung). “ Kalian bawa mamakku ke dalam mobil dan antarkan ke rumah sakit karang baru aja”. Ujar si Anak nyantai duduk diatas kursi depan rumahnya yang bersebelahan dengan rumah kami. Inikah anak yang selalu kusayangi? Benarkah dia? Tidakkah dia prihatin padaku yang sedang sakit? Persoalan terus berkecamuk dikepala Ibu sampai akhirnya beliau curhat kepada kami, anak-anaknya. Sungguh geram hatiku pada Anak Ibu yang satu itu, tak pandai balas budi orang tua.

Sampai dirumah sakit tersebut, Dokter tak mampu menangani Ibu. Kemudian Beliau dibawa ke rumah sakit kabupaten Aceh Timur. Menurut keterangan kakak dan adikku yang saat itu aku masih mengikut ujian, tak ada tanda-tanda baik pada Ibu. Maka mereka membawa Ibu ke Rumah sakit Gleaneagles, Medan.

Ibu sempat dirawat selama beberapa hari diGleaneagles. Sebenarnya Ibu ingin terus dibawa berobat ke Malaysia, tapi kerena masih menunggu kepulanganku yang ketika itu masih mengikuti final test.

Setelah habis ujian, aku langsung terbang ke Medan, menjenguk dan menjemput Ibu. Beliau memang nampak tak sehat. Melihat luka dikakinya aku tak sanggup dan pilu. Belum lagi rintihan ibu yang menahan kesakitan ketika sakit datang. Ketika Ibu dirawat diMedan, Adikku lah yang selalu absent kuliah untuk menjaga Ibu.

Akhirnya aku berhasil membawa Ibu ke Malaysia, yang juga ditemani Ayah ketika itu. Aku selalu setia mendampinginya ketika dalam perjalanan. Kami turun di Airport Ipoh dan dijemput oleh kawan Pakcikku yang tinggal diIpoh.

Esok harinya, Ibu langsung dibawa ke Rumah sakit Gleaneagles intan, Ampang. Ibu dirawat beberapa hari. Alhamdulillah, tampak ada perkembangan pada kesehatan beliau. Aku selalu setia menemaninya , dan selalu ada disampingnya ketika itu, pada saat itu hanya Aku, Ayah dan Abangku yang telah lama menetap disana.

Beberapa hari dirumah sakit, Dokter memanggilku. Beliau menjelaskan perkembangan kesehatan Ibu. Ternyata Beliau sudah komplikasi, ginjalnya sudah rusak. Mata ibu sudah rabun dan masalah kesehatan lainnya. Kata Dokter kaki Ibu tak bisa tertolong, betapa sedihnya aku saat itu. Aku tak sanggup melihat Ibu menderita, jika seandainya salah satu kakinya terpaksa diamputasi. Dokter menyarankan aku tidak memberitahu Ibu tentang perkembangan buruk penyakitnya.

Keesokannya, Dokter memanggil aku lagi. Dokter menyarankan agar Ibu mencuci darah. Menurut Dokter, aku harus mampu merayu Ibu untuk mencuci darah agar diabetesnya tidak cepat menyebar dan tak bertambah komplikasi lainnya. Betapa hancurnya hatiku saat itu. Sesungguhnya mencuci darahlah yang paling ditakuti Ibu. Bagaimana aku harus menjelaskannya pada Ibu? Mampuhkah Aku? Akhirnya Dokter berkata padaku bahwa ini adalah percobaan saja untuk melihat perkembangan selanjutnya. Bila Ibu akan sehat, maka mencuci darah dihentikan.

Betapa bodohnya aku saat itu termakan kata-kata dokter sehingga akhirnya sekuat tenaga aku merayu ibu mencuci darah. Begitu juga Abangku, Makcik dan Pakcik.

“ Dah, Daripada Mamak dicuci darah, bagus pulang aja. Biarlah Mamak menanti datangnya kematian.” Ujar ibu sambil menyeka air mata.
“ Mak, walau sesakit apapun tetaplah berikhtiar dan berdoa pada Allah. Bukankah Allah Sangat menyintai Hamba-hambaNya yang berikhtiar dan sabar?” Ungkapku sedih pada Ibu.
“ Tapi Mamak gak sanggup kalo harus cuci darah terus-terusan seumur hidup. Kalo duit kita habis, mo dibayar pake apa? Sementara mamak ga ada pendapatan lagi”. Tambah Ibu yang masih menangis.
“ Biarlah harta yang ada dijual, harta itu mamak yang cari. Maka sepantasnya lah habis juga untuk pengobatan mamak. Harta bisa dicari lagi, Mak. Tapi kesehatan mamak lebih berarti” Kataku sambil menahan sedih yang tak ingin membuat Ibu bertambah sedih.

Akhirnya Ibu bersetuju. Dan keesokan hari beliau dibawa ke ruangan mencuci darah ditingkat atas. Beberapa hari sebelum cuci darah Ibu selalu bad mood, suka marah padaku. Ada saja yang tak kena pada diriku dan dirinya langsung marah-marah. Akupun harus tetap sabar demi kebaikan beliau.

Aku dan Adikku ' Nadia' yang baru sampai dari Medan tetap setia menemani hari-hari Ibu yang suram dan tak ceria. Ketika dicuci darah Ibu sengaja memejamkan matanya rapat-rapat untuk menghindari melihat pemandangan yang tak indah itu. Ibu dikelilingi selang-selang ramping yang mengalir darah. Selang itu terpasang ditubuh ibu dan juga ada yang dimesin pencuci darah. Satu selang bertugas untuk mengalirkan darah ke dalam mesin dari tubuh Ibu. Darah itu dicuci dan dibersihkan dalam mesin tersebut. Kemudian, darah yang sudah dicuci dialirkan ke dalam tubuh Ibu kembali dengan menggunakkan selang yang lainnya. Pemandangan yang sungguh Sangat menyedihkan! Proses itu berlangsung selama lebih kurang dua jam.

Setelah beberapa hari mencuci darah, Ibu sudah ada perkembagan. Beliau sudah membaik dan ini diakui Dokter. Kemudian Ibu dibolehkan pulang, dengan syarat pencucian darah tetap berlangsung. Abang menyelesaikan urusan keuangan dirumah sakit tersebut yang Berjumlah RM20 ribu lebih kalau aku tidak salah. Kami terpaksa menjual mobil diam-diam untuk pengobatan Ibu selanjutnya yang sebenarnya ditentang si sulung habis-habisan. Tapi apa hak dia? Kami bukan pun mensual harta dia? Mobil itu punya Ibu.

Betapa gembiranya Ibu ketika dibolehkan pulang ke rumah. Kami tinggal dirumah Pakcik, dan masih bolak-balik antara Selayang-Ampang untuk pengobatan Ibu selanjutnya.

Ibu sudah mulai bosan dengan cuci darah. Saat itu beliau sudah mampu berjalan dengan dipapah oleh kami. Akhirnya kami mendapat informasi tentang pengobatan alternatif terapi OZON. Ibu lebih tertarik dengan pengobatan tersebut. Abangku pun bersedia mengantar Ibu berobat di Klinik Ozon tersebut ditemani oleh aku dan Adikku.

Ibu masih betah dengan pengobatan alternatif. Beliau tak mendengar kata kami, meskipun kami berulang mengingatinnya untuk mencuci darah juga.

Setelah seminggu diterapi, penyakit Ibu kambuh lagi. Ibu nampak tak seperti biasa dengan wajah pucat pasi. Akhirnya Abangku menelpon hospital terdekat, Hospital Selayang. Tim hospital segera mengirim Ambulance untuk kami. Ibu dinaikan ke dalam Ambulance, betapa sedihnya hatiku saat itu. Aku berdoa agar Allah tidak memberi derita pada Ibu berkepanjagan.

Ibu dirawat dihospital, ketika itu sudah memasuki ramadhan pertama tahun 2003. Pada malam pertama Ibu masih sadar. Tim-tim hospital tersebut berkerja sangat kasar. Mereka memaksa untuk mengambil darah Ibu untuk dicek dileb. Tapi apa hendak dikata, tubuh Ibu yang sudah banyak kali menerima cucukan jarum suntik sana sini membuat pengambilan darah selanjutnya sukar. Tetapi mereka terus memaksa, hingga akhirnya aku dan adik berteriak pada perawat-perawat kasar tersebut. “Kalau tak boleh, janganlah dipaksa dulu. takkan itu pun tak paham? Ingatkan emak saya lembu ke?” Geramku pada mereka yang ingin menyuntik Ibuku bagai menyuntik sapi pada saat itu. Ibu menangis sekuat-kuatnya menahan sakit cucukan jarum suntik tadi

Tengah malam pada malam pertama Ibu muntah berat. Tiba-tiba Ibu pingsan, saat itu aku pikir Ibu sudah meninggal, sedihnya hati ini!

Setelah segala usaha dilakukan akhirnya Ibu bisa diselamatkan dengan tim hospital, tapi masih dalam keadaan koma. Beberapa hari kemudian Ibu dipindahkan ke ruang ICU. Diruang ini, keluarga tak diperbolehkan menjaga dan waktu-waktu menziarah pun sudah ditentukan.

Ibu menjalani Hidup dihospital hampir satu bulan. Waktu itu keluargaku datang dari Aceh. Tiap hari aku, Adikku dan lainnya selalu menjenguk Beliau. Aku membaca ayat-ayat suci Qur’an, mengajaknya berzikir mengingat Allah, menasehatinya Agar bersabar mengahadapi sakitnya sakit. “ Sabarlah Mak! Allah sudah pun menghapus dosa-dosa Mamak dengan tabahnya mengahadapi kesakitan ini.” Kataku mengingatnya agar Baliau tak berburuk sangka pada Allah. Agar beliau mengambil hikmah disebalik penderitaan sakit. Tak ada jawaban lain ketika aku berkata selain meneteskan air mata bertanda sedih dan merasakan sakit yang tak tertahankan.

Saat itu aku tak tahu apa Ibu masih bisa melihat apa tidak. Tetapi aku lihat lain dikelopak matanya, warnanya sudah berbeda. Namun apabila kami tanyakan Dokter mereka hanya menjawab keadaan sama seperti semula.

Untaian doa terus kupanjatkan. Peluangku untuk menjenguk ibu takku sia-siakan walaupun beliau sering tak sadar ketikaku datang. Namun aku terus membelai tangan-tangan keriputnya, tangan memberikan kasih sayang yang tiada taranya. Tangan yang selalu membelaiku dengan lembut, tangan yang mencubitku jika aku tak bangun pagi untuk mengerjakan sholat subuh.

Oh Ibu, betapa sedihnya episode kehidupanmu kini! Oh Allah, begitu berat dugaan yang Kau berikan pada Ibu! Jika Engkau Menyayaginya ringankanlah bebannya! Jika mengambilnya adalah yang terbaik, maka kenapa Engkau biarkan Beliau menahan derita lebih lama? Allah, tabahkanlah hatinnya! Masukkanlah Ibuku diantara golonganya yang bertakwa dan bersabar.

Anggota keluargaku yang sudah berada diMalaysia beberapa minggu pulang lagi ke Aceh, selain Visa pendatang mereka yang telah habis, dan juga kata-kata Dokter membuat kami lega bahwa Ibu sudah ada perkembagan baik dan tanda-tanda membaik. Sedangkan Aku selalu menanti Ibu sembuh disini.

Ramadhan hampir berakhir. Ummat Islam berbahagia untuk menyambut hari kemenangan esok hari. Diantara mereka sibuk membeli baju lebaran, kue enak-enak, menyiapkan hidangan istimewa untuk hari yang istimewa. Bagiku, tak ada yang istimewa selain melihat Ibu kembali sehat.

Telepon rumah berdering. Abangku mengangkat telepon, ternayata dari Dokter yang menangani sakit Ibu. Dari percakapan itu aku sudah paham tanpa dijelaskan yang bermaksud sakit Ibu sudah parah tak bisa ditolong lagi. “ Obat tak boleh masuk kedalam tubuh mamak” Ungkap Abangku. Air mata mengalir deras. Kami terus pergi ke rumah sakit.

Sesampai disana, aku, Makcik dan lainnya terus membaca Yasin dan mengajaknya berzikir. Alhamdulillah, Ibu masih mampu mengikuti zikir yang kuajarkan saat keadaan nazak, lega hatiku. Aku terus mengingati kalimah suci itu, kalimah syahadat. Aku ingin Ibu meninggal dalam keadaan Muslim dengan mengucap syahadat sehingga Allah terus menghapus segala kesalahannya. Ketika itu, Ibu tak sadar sepenuhnya. Aku melihat tubuh Ibu sudah lain, pucat pasi, dan seluruhnya dingin. Beliau memberi respond ketika aku ajarkan zikir dan membaca sholat serta yasin. Air matanya terus mengalir. Sampai satu jam berikutnya Ibu tak begitu merespond kata-kataku dan nasehatku. Aku pikir malaikat telah mengangkat ruhnya sedikit demi sedikit dan perlahan, namun mata Ibu masih terbuka.

Buka puasa hampir tiba. Pakcikku mengajak aku pulang sebentar untuk berbuka, Namun aku enggan. Mereka mengajak lagi hingga akhirnya aku setuju dengan syarat langsung kembali setelah sholat magrib. Jarak dari rumah sakit ke rumah pakcik lebih kurang sepuluh menit ditempuh dengan mobil.

Aku berbuka dengan sekedar dan terus sholat maghrib. Kemudian mengajak Abangku langsung kembali ke rumah sakit. Sesampai disana, aku melihat tempat tidur Ibu ditutup dengan tirai kain. Aku ingin masuk, tetapi perawat memerintahku untuk tunggu diluar sebentar. Jantungku sudah berdebar-debar, perasaanku tak enak, Apa mungkin Ibu telah meninggal? Atau mereka sedang berusaha agar Ibu bertahan untuk hidup lagi?

“ Minta maaf encik! Kami tak boleh tolong. Ibu Encik dah pun pergi masa maghrib menjelang…” Ujar Dokter dengan nada tertahan.
“ Innalillahi…nyesalnya odah pulang tadi”. Aku menangis tapi berusaha agar tangisku tidak kuat. Aku berusaha tabah menerima semua ini dengan tidak meraung-raung. Aku terus berpikir kalaulah aku tadi tidak pulang, aku masih dapat menemani Ibu sampai akhir hayatnya, sampai malaikat maut datang menjemputnya.
“ Maafkan odah, Mak! Odah gak kawanin mamak tadi”. Kami terus menghampiri jenazahnya setelah dibenarkan masuk. Aku tak percaya Ibu yang kucintai kini sudah tak bernyawa lagi. Ibu tak menangis lagi, tak pun ada senyum. Ibu pergi ketika Ramadhan berakhir, ketika Muslim kembali fitrah. Aku harap Allah telah pun menjadikan diri Ibu fitrah dan mengampunkan segala kekhilafannya!

Oh Ibu…sungguh mulia tugasmu! Terima kasih ibu atas segalanya! Namun ada perasaan sedikit lega paling tidak aku, Bang Iman, Adikku 'Nadia' dan Kak Ita telah sekuat tenaga menjaga ibu, merawat ibu ketika sakit sebagai bukti bahwa kami sangat mencintainya, sebagai bukti bahwa kami adalah anak yang berusaha membalas jasa Ibu kami. Aku masih mampu mengingatkannya agar terus bersyukur dan mengingat sang Khaliq.

Kami bersepakat untuk mengebumikan Ibu disini, diMalaysia. Entah mimpi apa dalam hidup Ibu hingga beliau harus dikebumikan disini, padahal aku bukannya selamanya tinggal disini. Hanya seorang anak Ibu yang menetap disini, Bang Iman. Walaupun Ibu dikebumikan disini, namun sanak saudara ramai yang datang melayat ke rumah kami dikampung tercinta.

Hari kemenangan diwarnai dengan pilu dan sedih. Ketika orang-orang bersiap-siap untuk pergi sholat Eid, kami bersiap-siap untuk mengantar jenazah Ibu ke pemakaman dari mesjid. Aku tak dibenarkan ikut ke pemakaman. Sebelum jenazah Ibu dibawa, Aku mencium Ibu untuk terakhir kalinya seraya menahan tetesan air mata, “Semoga kita berjumpa lagi disana, Mak”. Ujarku perlan. Aku terus berdoa untuk Ibu.

Ya Allah, tuhan maha Pengampun dan pemaaf, ampunkanlah dosa Ibuku! Maafkanlah segala kesalahan dan kekhilafannya! Terimalah segala amal kebaikannya! Berikan keterangan, kelapangan dan rezeki padanya didalam kubur! Jauhkanlah Baliau dari azab kubur dan siksaan api neraka!

Aku terus balik ke rumah setelah berpisah dengan jenazah Ibu yang dibawa dengan kerenda. Aku berehat sebentar, sungguh lelah kerena semalaman tak tidur. Kami menyegera pengurusan jenazah Ibu, memandikan malam itu juga dan mengafani. Tak ramai yang ikut serta pada ritual pemandian Ibu, hanya aku, kak Muna (Seniorku) dan Seorang Nenek yang bertugas memandikan jenazah dirumah sakit. Sedangkan Abang, kawan-kawanku, Pakcik dan lainnya menunggu diruang tunggu jenazah. Keluarga kami dikampung tak bisa datang, kerena semua tiket telah habis pada saat itu, orang-orang ramai yang mudik.

Wahai kawan-kawan dan saudaraku sekalian! Ingatlah kematian yang tak jauh dari kita…
Mengingat kematian akan menambah keimanan kita kepada Sang Khaliq yang juga Penguasa Alam. Janganlah menunda untuk berbuat baik! Berbuatlah kebaikan Sekarang untuk menyelamatkan dirimu dari pedihnya azab kubur dan siksaan api neraka! Ingatlah, tak ada yang menolong kita didalam kubur sebagai rumah cacing yang lahap memakan daging tubuh kita yang cantik molek. Ia juga rumah ular yang Sangat besar yang bisa memakan diri kita kapan saja.

Ingatlah, hanya amal sholeh yang akan menolong dan menemani kita dalam gelap dan sempitnya kubur, yang membantu kita mampu menjawab pertanyaan Mungkar dan Nangkir, yang hanya mampu membawa kita menuju syurga sebagai alam terakhir tempat kita berdomisili. Jadi apa lagi? Kapan lagi? Ayo, berlomba-lomba untuk berbuat baik!!!

Sampai Sekarang, Episode ngilu Ibuku masih terngiang-ngiang dikapalaku….
Semoga menjadi ikhtibar!


Selamat jalan Ibu…
Walaupun aku tak lama disini,
Doaku akan selalu sampai…
Cinta dan kasih sayangmu tak hilang dan tak tergantikan dengan cinta lain…
Aku akan selalu berusaha membuat dirimu Bangga, Ibu…
Love you, Mum. Love you so much!